DETERMINAN KINERJA PELAYANAN PUBLIK

Kewenangan Diskresi
Diskresi secara konseptual merupakan suatu langkah yang ditempuh oleh administrator untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu yang tidak atau belum diatur dalam suatu regulasi yang baku. Pertimbangan melakukan diskresi yaitu adanya realitas bahwa suatu kebijakan ataau peraturan tidak mungkin mampu merespon banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor dalam proses merumuskan suatu kebijakan atau peraturan. Chalder dan Plano mengimplementasikan bahwa tindakan diskresi diperlukan sebagai kewenangan untuk menginterpretasikan kebijakan yang ada atas suatu kasus yang belum atau tidak diatur dalam suatu ketentuan yang baku. Diskresi sendiri menjadi isu krusial dalam pelayanan publik seiring dengan adanya tuntutan kepada aparat birokrasi untuk dapat memberikan pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel kepada publik. Selama masa 32 tahun Orde Baru, birokrasi berposisi sebagai kekuatan sentral dalam mengatur kehidupan masyarakat. Indikator dalam penelitian yang digunakan untuk melihat diskresi birokrasi meliputi serangkaian tindakan yang dilakukan aparat pelayanan berdasarkan pada inisiatif, kreativitas dan tidak terlalu bersandar pada peraturan. Tindakan tersebut dilakukan untuk mengatasi kesulitan ketika pimpinan tidak berada di tempat kerja. Kedua, tindakan ini dilakukan ketika menemui kesulitan dalam menjalankan tugas. Ketiga, pernah tidaknya menerapkan prosedur pelayanan yang berbeda dengan peraturan. Aparat pelayanan yang bertindak atas dasar peraturan dinilai mempunyai tingkat diskresi yang buruk. Data survei memperlihatkan masih tingginya tingkat ketergantungan aparat pelayanan kepada pimpinan dalam pemberian pelayanan publik.

Tabel 1
Inisiatif Pelayanan Ketika Pimpinan Tidak Ada

Jenis Tindakan

Sumatra Barat
Daerah
Istimewa
Yogyakarta

Sulawesi
Selatan
Penundaan pelayanan
Bantuan rekan kerja
Inisiatif sendiri
37,3
15,3
47,4
43,1
27,4
29,5
49,7
10,7
39,6
Total
N= 912
100,0
N=287
100,0
N=325
100,0
N=300

Pada kasus pemberian pelayanan perizinan, presentase aparat yang melakukan tindakan penundaan pelayanan juga terlihat tinggi, yakni 49,7 persen. Secara umum tingkat keberanian aparat birokrasi dalam mengambil inisiatif pelayanan atau suatu kasus pelayanan tanpa melibatkan pimpinan masih tergolong rendah. Mentalitas dan etos kerja aparat yang tidak memiliki komitmen tinggi terhadap pelayanan masyarakat turut pula memberikan andil besar daalam menghambat kinerja pelayanan birokrasi. Aparat pelayanan di semua tingkatan pemerintahan di ketiga daerah penelitian, baik pada pelayanan pertahanan maupun perizinan, menunjukkan kecenderungan untuk takut mengambil inisiatif dalam mengatasi kesulitan pemberian pelayanan. Tindakan aparat tersebut cenderung menyebabkan kerugian berada pada pihak masyarakat, terutrama dalam masalah kepastian dan ketepatan waktu pelayanan. Tindakan tersebut merupakan suatu bentuk feodalisme yang masih mempengaruhi orientasi tugas dan kinerja birokrasi pelayanan. Pimpinan dijadikan sebaagai perisai bagi aparat untuk berlindungdari kesalahan dalam mengambil tindakan pelayanan. Implikasi orientasi kerja tersebut pada semakin meluasnya rasa taakut mengambil inisiatif sehingga daya kreativitas, inovasi dan kinerja pemberian pelayanan aparat turut pula menjadi rendah.

Tabel 2
Tindakan Aparat Ketika Menemui Kesulitan Tugas

Jenis Tindakan
Sumatra
Barat
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Sulawesi
Selatan
Meminta Petunjuk Atasan
Bantuan Rekan Kerja
Inisiatif sendiri
67,9
8,7
23,3
62,2
16,9
20,9
70,7
6,0
23,3
Jumlah
N= 912
100,0
N=287
100,0
N=325
100,0
N=300

Masalah koordinasi dan masih belum adanya kesamaan visi pelayanan diantara instansi terkait diakui masih menjadi kendala dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Sistem kerja birokrasi belum memberikan ruang yang luas kepada aparat birokrasi untuk melakukan inisiatif pelayanan yang tetap mengacu kepada visi dan misi organisasi. Kondisi tersebut mengimbas pada semakin suburnya budaya minta petunjuk kepada pimpinan. Tindakan inisiatif pelayanan yang dilakukan tetap harus di konsultasikan kepada pimpinan dengan alasan agar tidak dianggap sebagai tindakan yang dianggap melangkahi wewenang pimpinan.
Koordinasi antar instansi terkait diakui membawa permasalahan tersendiri yang semakin mempersulit kecepatan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat merasa dipermainkan oleh aturan birokrasi sehingga seringkali membuat masyarakat merasa kecewa dan jengkel. Kesamaan visi pelayanan yang berorientasi pada pelanggan dan sosialisasi kebijakan pada tiap-tiap instansi pelayanan masih terlihat lemah. Di sisi lain, ketidaksamaan visi pelayanan yang berorientasi pada pelanggan, efisiensi, kecepatan, dan transparan, baik di kalangan aparat maupun pada tingkat antar instansi pelayanan, merupakan titik rawan bagi munculnya berbagai kasus penyimpangan wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pemberian jasa atau kompensasi pelayanan akan membawa implikasi ekonomi yang menguntungkan aparat pelayanan.
Birokrasi sendiri dikembangkan dengan memakai prinsip konstaktual, artinya terdapat penerapan hubungan antara penyelenggara pelayanan dengan pengguna jasa dalam pemberian pelayanan publik. Hanya saja, dalam konteks di Indonesia telah terjadi keterpaksaan dari salah satu pihak (penyelenggara pelayanan) untuk melakukannya demi kecepatan penyelesaian urusan. Hubungan pelayanan yang tercipta , dengan demikian bersifat asimetris karena tidak mengindahkan prinsip-prinsip ekonomi, keadilan, dan salingmenguntungkan dari kedua belah pihak. Kualitas sumber daya manusia di lingkungan birokrasi pelayanan ternyata bukan merupakan satu-satunya faktor yang signifikan yang menjelaskan rendahnya kemampuan diskresi birokrasi. Inisiatif pelayanan dianggap sebagai tindakan yang menyalahi prinsip responsibilitas sehingga dianggap merupakan tindakan penyimpangan atau pelanggaran yang akan mendatangkan sanksi administratif tertentu. Keyakinan tersebut secara faktual masih menjadi norma pelayanan yang di pegang kuat oleh sebagian besar aparat pelayanan. Aparat pelayanan apabila menemui kesulitan, dengan mudah akan melakukan tindakan pelayanan yang merugikan masyarakat. Tindakan pelayanan kepada publik yang cenderung berpegang kepada prosedur dan prinsip-prinsip administratif yang akan dijalankan secara kaku masih dipahami oleh aparat pelayanan sebagai suatu sistem nilai dan mekanisme kerja pelayanan baku yang terinternalisasikan secara institusional ataupun individual. Belum diterapkannnya manajemen pelayanan dan hubungan kerja yang partisipatif yang berorientasi pada kerja sama menjadikan birokrasi pelayanan masih bercorak pada nilai-nilai kekuasaan daripada nilai-nilai pelayanan publik. Adanya prinsip loyalitas yang dipahami secara keliru oleh aparat pelayanan berdaampak implikasi pada rendahnya kemampuan melakukan diskresi. Kesalahan dalam memahami makna loyalitas telah menyebabkan orientasi kinerja aparat cenderung vertikal, bukan berstandart paada kepentingan-kepentingan masyarakat pengguna jasa.
Dalam lingkungan birokrasi, permasalahan kewenangan masih benar-benar dipahami secara tekstual. Pimpinan memegang kebijakan sehingga aparat pelayanan tingkat bawah tidak memiliki banyak kelonggaran untuk menginterpretasikan kebijakan, termasuk yang menyangkut masalah teknis pemberian pelayanan. Penerapan suatu standart pelayanan yang mengikuti prosedur alternatif merupakan salah satu bentuk improvisasi pelayanan yang diberikan oleh aparat atas dasar aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Tabel 3
Dasar Penarapan Prosedur Pelayanan
Dasar penerapan
prosedur pelayanan
Sumatra
Barat
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Sulawesi
Selatan
Aturan Formal/ Jungklak
Sesuai Situasi
81,5
18,5
76,3
23,7
88,0
12,0
Jumlah
N=912
100,0
287
100,0
325
100,0
300

Sebagian besar aparat pelayanan di ketiga daerah penelitian, baik pada kaasus pelayanan pertahanan maupun perizinan, tidak pernah menerapkan prosedur pelayanan yang berbeda dengan aturan formal atau jungklak. Aparat pelayanan di kantor kecamatan dan desa lebih fleksibel dalam melakukan improvisasi pemberian pelayanan. Aparat desa dapat memberikaan pelayanan taanpa harus berpedomaan pada aturan formaal secara kaku.
Aparat pelayanan di Daerah Istimewa Yogyakarta justru terlihat lebih banyak yang menerapkan formalisme dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dibandingkan dengan aparat di Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan. Formalisme pelayanan merupakan bentuk pelayanan yang ditawarkan oleh aparat pelayanan kepaada masyarakat pengguna jasa dengan menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan formal. Pendekatan formal yaitu aparat pelayanan menyodorkan serangkaian persyaratan formal sebagai prosedur administratif birokratis yang harus dipenuhi oleh masyarakat pengguna jasa. Pendekaatan kedua aadalah pendekatan komprom, yakni aparat pelayanan menaawarkan jasa pengurusan prosedur pelayanan tanah kepada masyarakat pengguna jasa dengan meminta kompensasi berupa uaang jaasa pengurusan.

Tabel 4
Tindakan Pemenuhan Kecepatan Pelayanan

Tindakan Pelayanan
Sumatra
Barat
Daerah
Istimewaa
Yogyakarta
Sulawesi
Selatan
Menolak
Melayani dengan syarat dipenuhi kemudian
46,3
53,7
67,4
32,6
53,0
47,0
Total
N=912
100,0
N=287
100,0
N=325
100,0
N=300

Kedua pendekatan tersebut diterapkan secara komplementer, sehingga seringkali pendekatan formal hanya digunakan sebagai umpan bagi penggunaan pendekatan kompromi. Aparat pelayanan yang menerapkan prosedur pelayanan alternatif, selain aturan formal atau juklak, pada umumnya telah memiliki tingkat kesadaran yang tinggi pada pentingnya kelancaran pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Aparat pelayanan mampu memahami kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh masyarakat pemohon. Keluwesan dalam menerapkan aturan formal kepada masyarakat pengguna jasa belum terlihat pada sebagian besar parat pelayanan. Dalam banyak kasus, aparat pelayanan lebih banyak yang menolak memberikan pelayanan apabila terdapat persyaratan dari pengguna jsa yang tidak memenuhi ketentuan dalam aturan formal. Alasan utama yang mendasarinya adalah aparat tidak ingin mengambil resiko ataas munculnya permaasalahan pada fase pelayanan berikutnya sehingga dikhawatirkan aakan menjadi kan pelayanan lebih lama. Penolakan pemberian pelayanan oleh sebagian besar aparat biasanya dilakukan melalui cara-cara yang halus seperti memberitahukan kepaada masyarakat pemohon mengenai kekurangan persyaratan administratif yang masih perlu ditambahkan. 

Tabel 5
Penolakan Pelayanan Akibat Kurangnya Persyaratan Administratif Di Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Dan Sulawesi Selatan

Tindakan
Pelayanan
Instansi Pelayanan
Sumatra Barat
Daerah Istimewa Yogyakarta
Sulawesi Selatan
Ya
Tidak
76,7
23,3
88,0
12,0
87,0
13,0
Jumlah
N = 912
100,0
N = 287
100,0
N = 325
100,0
N = 300

Orientasi terhadap Perubahan
            Orientasi terhadap perubahan menunjuk pada sejauh mana kesediaan aparat birokrasi menerima perubahan. Perubahan tersebut tidak hanya menyangkut tuntutan masyarakat yang senantiasa berkembang, tetapi juga pengetahuan mengenai berbagai hal yang terjadi dalam lingkungan di luar birokrasi, seperti perkembangan teknologi.Orientasi perubahan juga ditandai dengan adanya aksi atau tindakan yang dilakukan oleh aparat untuk melakukan perubahan. Orientasi pada perubahan adalah suatu sikap yang berlawanan dengan orientasi pada kemapanan (status quo). Semakin tinggi sikap terhadap perubahan, maka semakin rendah pula orientasi terhadap status quo.
            Namun tampaknya keadaan tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Orientasi perubahan yang ada pada aparat birokrasi pelayanan masih rendah . namun, teah ada usaha usaha dari aparat untuk melakukan perubahan meskipun baru sebagian kecil saja. Orientasi pada perubahan yang harus dimiliki oleh seorang aparat birokrasi berkaitan dengan luasnya wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya. Wawasan seorang aparat tak hanya berkaitan dengan tugas sebagai pegawai pemerintah, melainkan lebih pada kemampuan dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan yang terjadi di luar lingkungan organisasinya.

Tabel 6
Kegiatan Studi Banding yang Diikuti dalam Tiga Tahun Terakhir di Sumatra Barat, daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan
Kegiatan Studi Banding yang Diikuti Tiga Tahun terakhir
Sumatra Barat
Daerah Istimewa Yogyakarta
Sulawesi Selatan
N
%
N
%
N
%
Ya
167
58,2
190
58,5
164
54,7
Tidak
120
41,8
135
41,5
136
45,3
Jumlah
287
100,0
325
100,0
300
100,0

            Berdasarkan hasil survei, bahwa kegiatan aparat birokrasi untuk yang mengikuti studi banding maupun studi lanjut belum begitu baik. Secara umum, kondisi tersebut dapat memberikan gambaran bahwa secara kelembagaan komitmen birokrasi untuk melakukan perubahan internal masih tergolong lemah. Birokrasi masih belum sepenuhnya menunjukkan komitmen untuk melakukan reformasi internal dan berubah dengan melihat dan membandingkan berbagai kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh institusi pelayanan lainnya.

Tabel 7
Persentase Aparat yang Mengikuti Studi Banding atau Studi Lanjut menurut Instansi Pelayanan

Asal Instansi
Sumatra Barat
Daerah Istimewa Yogyakarta
Sulawesi Selatan
N
%
N
%
N
%
Badan Pertanahan Nasional
18
10,8
30
41,1
34
20,7
Kantor Perijinan
39
23,4
77
56,2
51
31,1
Kantor Kecamatan dan Desa
110
65,9
83
73,2
79
48,5
Jumlah
167
100,0
190
100,0
164
100,0

            Kegiatan studi banding dan studi lanjut yang diberikan oleh lembaga birokrasi pelayanan kepada aparatnya, dilihat dari instansi pemberi pelayanan, tampak bahwa aparat birokrasi kecamatan dan desa ternyata yang paling banyak mengikuti kegiaran tersebut. Minimnya aparat yang berasal dari Kantor Badan Pertanahan Nasional yang pernah mengikuti kegiatan Studi banding atau studi lanjut menunjukkan bahwa statemen yang selama ini sering dilontarkan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat pengguna jasa, bahwa birokrasi pertanahan tidak banyak mengalami perubahan setelah reformasi cukup beralasan.
            Kesan yang seringkali terlihat menyangkut birokrasi pelayanan pertanahan adalah bahwa Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) cenderung lebih menutup diri dibandingkan dengan instansi pelayanan yang lain. Rendahnya komitmen perubahan pada kantor pelayanan pertanahan tersebut erat kaitannya pula dengan beban pekerjaan kantor pelayanan pertanahan yang berat.
            Aparat birokrasi yang sering melakukan studi banding dan studi lanjut akan mengalami peningkatan mobilitas vertikal. Semakin sering aparat birokrasi keluar dari lingkungannya, akan semakin luas pula wawasan dan cakrawala pemikirannya. Orientasi pada perubahan yang terjadi pada birokrasi pelayanan publik belum menjadi bagian terpenting dari kemajuan organisasinya. Faktor yang menyebabkan pegawai belum memiliki rasa dan semangat untuk berubah adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi usia dan motivasi aparat birokrasi, sedangkan faktor eksternal mencakup lingkungan kerja dan atasan.
            Faktor usia menjadi hambatan seseorang. Argumen mereka adalah bahwa pekerjaan yang mereka lakukan sifatnya rutin sehingga belum memerlukan tambahan pengetahauan yang lain.Seiring bertambah usia, pemikiran tidak terlalu dipacu lagi untuk menghasilkan ide-ide baru. Faktor Internal lain adalah tidak adanya motivasi dari pribadi aparat yang bersangkutan untuk mengembangkan diri menyesuaikan perkembangan yang terjadi di luar lingkungan birokrasi.
            Faktor eksternal yang menghambat orientasi pada perubahan adalah lingkungan kerja dan atasan. Iklim lingkungan kerja dalam birokrasi pelayanan publik yang memiliki orientasi ke depan belum sepenuhnya dapat dilakukan. Hal tersebut disebabkan faktor heterogenitas pendidikan di kalangan aparat birokrasi. Rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar aparat birokrasi tersebut menyebabkan orientasi birokrasi pada perubahan cenderung rendah.
            Lingkungan memberikan andil bagi seorang aparat memiliki pemikiran ke depan banyak aparat birokrasi setelah mengikuti diklat, studi banding, ataupun menamatkan pendidikan S-2 nakan kembali berfikir dengan pola lama seperti sebelumnya. Faktor lingkungan yang berasal dari bawahan ataupun teman setingkat seringkali membuat seorang aparat tersebut urung mengemukakan ide-ide pembaharuan yang dimilikinya.
            Faktor eksternal yang lain untuk melihat orientasi pada perubahan di kalangan aparat birokrasi pelayanan adalah sikap pimpinan. Memasuki masa reformasi telah terjadi perubahan atas sikap pimpinan terhadap bawahan. Pimpinan saat ini telah banyak yang mulai memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dan mulai mengurangi jarak dengan bawahannya. Namun, tidak semua pimpinan memiliki orientasi yang sama untuk mengembangkan bawahannya agar berfikir maju ke depan.
            Aparat Birokrasi yang memiliki wawasan berfikir luas akan mendapatkan peran strategis dalam organisasi birokrasi. Namun ironisnya, sistem kerja dalam birokrasi di Indonesia sendiri tidak pernah mempunyai tradisi untuk memberikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi. Manifestasi sikap aparat birokrasi yang berobsesi untuk mempertahankan status quo adalah takut menghadapi perubahan, tidak inovatif, dan tidak mau mengambil resiko. Ketakutan dalam menghadapi perubahan yang timbul di dalam diri aparat birokrasi biasanya adalah pejabat birokrasi, sesungguhnya disebabkan oleh faktor kapabilitas mereka yang sangat terbatas.  Perubahan yang terjadi seperti dalam hal reorganisasi, peningkatan pemanfaatan teknologi, dan tuntutan akan pengetahuan dan keterampilan dianggap merupakan ancaman nyata terhadap kedudukan, jabatan, karier, dan penghasilannya.
            Aparat birokrasi yang takut menghadapi perubahan akan membawa implikasi pada kemampuan dan daya inovatif aparat. Aparat birokrasi pelayanan yang tidak inovatif memiliki kecenderungan untuk mempertahankan mekanisme, prosedur, dan teknik-teknik yang usang tanpa mempedulikan kesesuaiannya dengan perkembangan tuntutan masyarakat dan tuntutan organisasi modern, seperti peningkatan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas kerja organisasi.
            Sistem birokrasi pelayanan di Indonesia selama ini dibangun di atas budaya paternalisme yang lebih bersifat feodalistik. Kondisi budaya pelayanan demikian membawa implikasi pada terbatasnya akses setiap aparat untuk dapat menyampaikan ide-ide perubahan secara bebas kepada organisasi. Setiap aparat birokrasi, khususnya aparat birokrasi pada tingkat bawah, cenderung dihinggapi perasaan takut untuk menyampaikan ide perubahan kepada pimpinannya. Sebaliknya, kelompok aparat birokrasi yang tidak memiliki orientasi pada perubahan cenderung bersikap pasif dan hanya mengerjakan tugas-tugas rutin tanpa mampu mengembangkan ide-ide untuk mengubah pelayanan menjadi lebih efisien.
            Aparat birokrasi yang memiliki orientasi pada perubahan, pada umumnya mempunyai keinginan untuk menghilangkan budaya ewuh pakewuh yang selama ini berkembang dalam birokrasi. Budaya tersebut telah menjadikan sistem kerja birokrasi terasa sangat sulit untuk mengakomodasi perubahan. Sistem budaya tersebut juga yang menjadikan budaya kritik tidak dapat berkembang di dalam birokrasi. Namun, sebagian besar aparat birokrasi masih merasa takut akan akibat yang ditimbulkannya, seperti akan ada kekhawatiran akan dibenci dan disingkirkan dari lingkungan.
Osborne dan Plastrik (1997) mengatakan bahwa perubahan pada awalnya sangat sulit dilakukan karena harus berhadapan dengan kultur kekuasaan birokrasi yang telah lama terbentuk. Kebiasaan, perasaan, dan pola pikiran serta perilaku aparat birokrasi telah dibentuk selama puluhan tahun oleh sistem dan pengalaman birokratis sehingga perubahan tentu saja memerlukan waktu yang tidak sedikit. Oleh karena itu, dapat dipahami apabila banyak kalangan, termasuk aparat birokrasi sendiri, yang menjadi skeptis terhadap efektivitas komitmen perubahan yang akan dilaksanakan.
            Bagi beberapa aparat birokrasi, perubahan dapat berarti uang. Perubahan berarti akan terjadinya rotasi kekuasaan dalam organisasi yang membawa implikasi pada perbaikanstruktur jabatan dan karier seseorang. Perubahan dapat pula dipahami sebagai peningkatan peluang untuk mengembangkan profesionalitas. Tetapi, Perubahan bisa juga justru berarti mengancam hak istimewa yang selama ini telah dinikmati.
            Dalam situasi budaya birokrasi demikian, tatanan sosial yang berlaku dalam birokrasi sebenarnya lebih menekankan pada situasi kehidupan yang harmonis. Harmoni sosial dalam birokrasi harus tetap dipelihara karena akan membawa konsekuensi pad penciptaan ketertiban. Pihak yang melontarkan ide perubahan seringkali justru akan mendapatkan stigma sebagai antikemapanan. Namun, komitmen terhadap perubahan di kalangan aparat birokrasi dipengaruhi pula oleh kondisi politik eksternal yang kondusif untuk mendukung terjadinya perubahan dalam birokrasi.
            Meskipun hampir sebagian besar aparat birokrasi menyatakan bahwa studi banding tersebut sangat penting untuk dilakukan, kecenderungan yang terjadi justru kegiatan studi banding atau studi lanjut hanya semata mata dipergunakan sebagai batu loncatan meraih jabatan tinggi di birokrasi.
            Kelompok aparat birokrasi yang menganggap bahwa kegiatan studi banding atau studi lanjut tersebut kurang penting adalah aparat yang berasal dari pegawai golongan tua. Aparat tersebut biasanya masa kerja nya telah lama dan sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Kegiatan Studi banding menurutnya hanya bermanfaat untuk kepentingan diri sendiri. Maka dari itu, kelompok tersebut menganggap studi banding dirasa kurang bermanfaat.
            Aparat birokrasi pemerintah tidak perlu melakukan atau memiliki etos kerja yang tinggi sebagaimana pegawai swasta karena bagi pegawai swasta apabila mereka tidak melakukan pekerjaan dengan baik sewaktu-waktu dapat dipecat dari pekerjaannya.

Budaya Paternalisme
Budaya petenalisme adalah suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Dalam paternalisme, pola hubungan dipandang secara hierarkis. Pihak pejabat birokrasi atau pimpinan ditempatkan lebih dominan daripada aparat bawahan karena seorang pimpinan harus dapat memberikan perlindungan terhadap bawahannya. Dalam konteks sistem pelayanan public, paternalisme memiliki dua dimensi. Pertama, hubungan paternalism antara aparat birokrasi dengan masyarakat pengguna jasa. Kedua, hubungan paternalisme yang terjadi antara pimpinan instansi atau atasan dengan para aparat staf pelaksana atau bawahan. Paternalisme yang pertama lebih menunjuk pada hubungan yang bersifat eksternal, sedangkan paternalism yang kedua menunjuk pada hubungan yang bersifat internal yakni di dalam organisasi birokrasi sendiri.
Paternalisme tumbuh subur dipengaruhi oleh kultur feodal yang sebagian besar wilayah di Indonesia yang semula merupakan daerah bekas kerajaan. Wilayah-wilayah bekas kerajaan ini telah mempunyai sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan yang selalu menjunjung tinggi dan mengagungkan penguasa sebagai orang yang harus dihormati karena mereka telah memberikan kehidupan dan pengayoman bagi warga masyarakat.
Budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh hubungan ‘bapak’ dengan ‘anak’ yang pada prinsipnya ‘bapak’ menanggung pemenuhan kebutuhan sosial, material, spiritual, dan emosial anak. Budaya birokrasi yang berakar dari budaya keraton, dengan mengadopsi berbagai ritual, seremonial, dan simbol-simbol cultural dari kerajaan-kerajaan di jawa, masih dikembangkan sampai sekarang di lingkungan birokrasi pemerintah.
Paternalisme di Sulawesi Selatan pada awalnya terbentuk dari adanya seperangkat nilai-nilai, keyakinan, dan simbol yang ditemukan pada masa kerajaan Gowa sekitar akhir abad XIII atau awal abad XIV. Pada waktu itu ditemuakn benda-benda aneh yang oleh penemunya dipolitisasi sebagai benda titipan dewa, yang memberikan kekuasaan kepada penemunya untuk memerintah di bumi. Benda-benda yang diyakini sebagai sumber kekuasaan tradisional tersebut dinamakan gaukang, sedangkan penemu benda tersebut dianggap sebagai manusia pilihan dewa dan ditempatkan di lapisan tertinggi dalam pelapisan sosial masyarakat.
Pengaruh budaya Minangkabau terhadap pembentukan paternalisme dalam struktur birokrasi pemerintahan Sumatra Barat berlangsung melalui transformasi sistem nilai nagari ke dalam sistem birokrasi local. Sejarah terbentuknya birokrasi pemerintahan di Sumatra Barat dilakukan dengan cara menggabungkan otoritas tradisional (nagari) ke dalam sistem birokrasi modern. Pengaruh penggabungan tersebut masih dapat terlihat dengan adanya pengangkatan para pejabat local yang harus mengikuti hukum adat dan tatacara dari kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minagkabau.
Penyelenggaraan pelayanan bagi kepentingan umum harus pula mempertimbangkan heteroginitas kehidupan masyarakat yang dilayaninya. Dengan demikian, antara pelayan atau aparat demokrasi dengan masyarakat, seharusnya terjadi hubungan yang saling mengisi dan saling membutuhkan. Konsep tersebut dalam kultur jawa dikenal dengan sebutan manunggaling kawula lan gusti. Pencerminan dari konsep ini secara normative di dalam kehidupan sehari-hari birokrasi terlihat dari sikap dan perilaku para aparat birokrasi yang besedia melakukan kompromi, bekerja sama, dan menyatu dengan rakyatnya. Sebaliknya, rakyat sebagai kawula atau pengikat dengan tulus ikhlas mengabdikan dirinya untuk kepentingan pimpinannya (gusti).
Kondisi tersebut berbeda halnya dengan yang terjadi pada birokrasi di Sumatra Barat. Kultur masyarakat Minangkabau dengan gaya kepemimpinan yang bersifat komunal dan egalitarianisme membawa pengaruh kuat dalam sistem budaya birokrasi dan pelayanan public di Sumatra Barat. Dalam budaya minangkabau, seorang pimpinan tidak dapat memerintah bawahan dengan sewenang-wenang. Pimpinan yang secara seenaknya memerintah bawahan, perintahnya tidak akanefektif atau dilaksanakan oleh bawahannya. Apabila mempunyai ide dan ide tersebut ingin memperoleh dukungan untuk dilaksanakan, pimpinan harus terlebih dahulu menganggap dan memperlakukan aparat bawahannya sebagai anggota kerabatnya yang harus dipenuhi berbagai kebutuhannya.
Paternalisme pada birokrasi pelayanan di Sulawesi Selatan dapat dilihat melalui aktualisasi konsep budaya siri oleh aparat birokrasi. Pada umumnya siri diekspresikan oleh aparat birokrasi untuk mengutamakan kepentingan pribadi, padahal dalam konsep yang sesungguhnya siri dipergunakan secara komunal sebagai pengatur tata tertib sosial. Konsep budaya siri yang bermakna memiliki rasa malu, tidak pernah dapat ditransfer ke dalam diri aparat birokrasi dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
 
Tabel 8
Tindakan Aparat apabila Pimpinan Melakukan Kesalahan di Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan
Tindakan Aparat
Sumatra Barat
DIY
Sulawesi Selatan
N
%
N
%
N
%
Mengingatkan langsung
241
84,0
209
64,3
219
73,0
Mengingatkan tidak langsung
25
8,7
46
14,2
25
8,3
Membiarkan
21
7,3
70
21,5
56
18,7
Jumlah
287
100,0
325
100,0
300
100,0
Sumber: Data Primer, 2000.

Kentalnya budaya paternalism dalam birokrasi pemerintahan, salah satunya dapat terlihat dari besarnya presentase aparat birokrasi yang tidak berani mengkritik pimpinannya. Semakin besar aparat birokrasi yang membiarkan tindakan pimpinan yang melakukan kesalahan dapat merupakan indikasi penting untuk melihat tingkat paternalism dalam birokrasi pelayanan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap aparat birokrasi di Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan, diketahui bahwa aparat birokrasi yang tidak berani mengkritik pimpinan secara langsung dan cenderung membiarkannya masih tetap dijumpai. Hal tersebut mencerminkan bahwa paternalism masih tetap dianut oleh sebagian aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan. Pengaruh paternalism juga membawa konsekuensi pada pola pendelegasian wewenang yang terjadi dalam birokrasi. Dampak dari kultur birokrasi semacam ini akan menjadikan kebijakan pimpinan sulit untuk dikontrol sehingga dapat memunculkan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proses pengangkatan dan pembentukan partner kerja.

Etika Pelayanan
Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat. Perilaku aparat birokrasi yang memiliki etika daapat tercermin pada sikap sopan dan keramahan dalam menghaadapi masyarakat pengguna jasa. Di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, terdapat dua pihak yang saling berhadaapan dan saling berbeda kepentingan. Pihak aparat birokrasi sebagai pemberi layanan yang berhadapan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan. Keduanya terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Aparat birokrasi pada dasarnya sebaagai abdi, bukannya tuan. Kecenderungan yang justru terjadi adalah abdi masyarakat dibalikkan artinya menjadi masyarakat menjadi abdi birokrat. Dalam realitasnya, pelayanan menunjukkan bahwa aparat birokrasi dalam melakukan pelayanan terdapat pembedaan pelayanan terhadap pengguna masyarakat. Aparat akan terlihat lebih ramah kepada masyarakat pengguna jasa yang menunjukkan sebagai orang kaya, sedangka masyarakat dari penampilan yang sederhana, mendapatkan perlakuan yang tidak sebaik pengguna jasa seperti kelompok masyarakat kaya. Motif aparat birokrasi dalam melakukan pembedaan pelayanan disebabkan oleh kedekatan hubungan dengan aparat birokrasi. Tak hanya itu, masyarakat yang dilayani oleh aparat birokrasi sebagian besar aadalah seorang anggota atau aparat keamanan yang berseragam lengkap dengan tanda paangkatnya. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan keramahan pelayanan juga ditentukan oleh jabatan yang dimiliki pengguna jasa. Seperti halnya paada pengurusan sertifikasi tanah. Seorang calo yang telah dikenal petugas, dalam proses pengurusannya akan lebih cepat dibanding dengan masyarakat biasa. Aparat birokrasi pertanahan biasanya memiliki klien favorit dalam pelayanan seperti PPAT, notaris, dan perantara atau para calo. Warga masyarakat biasa yang ingin mengurus tanah seringkali merasa dipermainkan oleh aparat birokrasi pertanahan. Kerumitran masalah tanah semakin bertambah kompleks seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang membutuhkan tanah, baik untuk keperluan pembangunan, perumahan, industri, maupun rekreasi.
Permasalahan etika dalam pemberian pelayanan tanah di Padang, Sumatera Barat justru banyak terjadi karena cenderung diinginkan oleh masyarakat pengguna jasa. Bagi masyarakat pengguna jasa pelayanan di Sumatera Barat, strategi yang dipergunakan agar mereka tidak di rendahkan oleh aparat birokrasi adalah dengan menggunakan pengaruh uang. Dalam pandangan masyarakat, pihak yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada pihak yang diberi yakni aparat atau pejabat birokrasi. Penghargaan terhadap pengguna jasa terlihat belum menjadi bagian dari budaya pelayanan birokrasi. Secara kelembagaan, pemberian pelayanan kepada publik belum sepenuhnya mengembangkan prinsip kompetensi, yakni kemampuan aparat birokrasi untuk mengetahui dan memenuhi proses pelayanan yang dibutuhkan pengguna jasa. Pembedaan atas dasar afiliasi sosial kemasyarakatan juga sering dijumpai dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pada pelayanan di instansi Catatan Sipil, masalah etika pelayanan yang sering muncul adalah pembedaan pelayanan atas dasar latar belakang etnis. Biasanya masyaarakat pengguna jasa yang kebetulan berasal dari warga negara keturunan etnis Cina akan diperlakukan secara berbeda dengan masyarakat pengguna jasa warga negara Indonesia asli. Dasar pembedaan tersebut disebabkan oleh undang-undang yang masih menggunakan staatblad zaman Belanda. Undang-undang tersebut pada dasarnya masih membedakan warga negara menjadi warga negara asli, keturunan atau timur jauh dan warga negara asing. Pembedaan sikap birokrasi dalam pemberian pelayanan juga cenderung di dasarkan pada tingkatan birokrasinya. Seperti hal nya warga masyarakat yang berurusan dengan birokrasi pelayanan pemerintah di tingkat kabupaten cenderung harus lebih ramah dan lebih bersikap manis kepada aparat birokrasi.
Pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat, menurut pejabat birokrasi, tidak harus semuanya dilakukan sesuai Dengan petunjuk, tetapi ada kalanya aparat pelayanan harus berani memberikan kebijakan tersendiri sesuai  dengan masalah yang dihadapi pada saat pemberian pelayanan. Etika pelayanan dalam kinerja pelayanan publik diperlukan sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat pengguna jasa. Aparat birokrassi pelayanan diharapkan dapat memberikan pelayanan dengan ramah sehingga masyarakat pengguna jasa merasa memperoleh pelayanan dengan sebaik-baiknya. Jika kondisi pelayanan yang demikian dapat diciptakan, etika pelayanan publik dapat berjalan.

Sistem Intensif
Salah satu faktor yang menentukan tingkat kinerja aparat pelayanan public adalah penerapan sistem intensif. Sistem intensif merupakan elemen penting dalam suatu organisasi untuk memotivasi karyawan mencapai prestasi kerja yang diinginkan. Intensif yang diberikan kepada karyawan yang berprestasi berupa penghargaan materi maupun nonmateri, sedangkan karyawan yang tidak berprestasi mendapatkan disinsetif berbentuk teguran, peringatan, penuduhan/ penurunan pangkat, atau pemecatan. Sasaran utama penerapan sistem intensif adalah (Gibson. Et.al, 1996):
  1. Menarik orang yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi
  2. Mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja
  3. Memotivasi karyawan mencapai prestasi tinggi
Pemberian intensif kepada setiap pegawai dilakukan kepada pegawai yang mempunyai prestasi dan kinerja yang baik dalam melakukan pekerjaannya. Semakin baik prestasi seseorang berarti semakin tinggi pula intensif yang diperolehnya. Peningkatan prestasi kerja oleh seorang aparat birokrasi dilakukan karena berbagai alasan, seperti untuk peningkatan penghasilan, memperoleh penghargaan dari pimpinan, kepuasan pribadi, promosi jabatan, kewajiban terhadap tugas, dan pelayanan dan pengabdian pada masyarakat.

Tabel 9
Alasan Pegawai Meningkatkan Prestasi Kerja

Sumatra Barat (N=269)
Daerah Istimewa Yogyakarta (N=305)
Sulawesi Selatan (N=295)
Peningkatan penghasilan
7,1
10,8
12,9
Penghargaan dari pimpinan
4,5
2,6
8,5
Kepuasan pribadi
54,6
50,8
38,6
Promosi jabatan
15,2
4,3
24,4
Kewajiban terhadap tugas
7,1
8,9
4,1
Pelayanan dan pengabdian pada masyarakat
9,7
14,4
9,5
Tuntutan masyarakat
0,4
5,9
1,0
Terikat sumpah/ janji sebagai PNS
1,4
2,3
1,0
Total
100,0
100,0
100,0
            Dari sisi aparat demokrasi, baik buruknya intensif yang mereka peroleh atas apa yang telah dilakukan bagi instansi akan mempengaruhi kinerja mereka. Namun, yang masih sering menjadi masalah adalah penilaian prestasi kerja karyawan/ petugas ini masih mengacu pada kepentingan lembaga/ instansi dan belum didasarkan atas tingkat kepuasan masyarakat pengguna jasa. Sistem intensif yang diberikan pada aparat sebatas gaji bulanan dan tunjangan hari raya (THR) saja. Tidak adanya penerapan sistem intensif di beberapa instansi menyebabkan motivasi rendah dari aparat birokrasi untuk meningkatkan prestasi kerja mereka.

Tabel 10
Bentuk Penghargaan pada Karyawan Berprestasi

Sumatra Barat (N=256)
Daerah Istimewa Yogyakarta (N=286)
Sulawesi Selatan (N=446)
Promosi jabatan yang lebih tinggi
25,0
20,6
15,0
Penilaian DP3
2,0
7,7
1,6
Studi lanjut
0,8
3,5
0,7
Diberikan tanggung jawab lebih
0,8
1,7
0,2
Pengakuan eksistensi dari lingkungan kerja
-
0,8
-
Pemberian bonus berupa uang/barang
8,2
12,9
24,8
Pemberian pujian dari pimpinan
32,4
29,4
28,3
Pemberian tanda penghargaaTotal
30,8
23,4
29,4
Total
100,0
100,0
100,0

            Di samping ada sistem intensif bagi karyawan yang berprestasi baik, juga ada sistem hukuman atau sanksi bagi karyawan yang mempunyai perilaku atau prestasi kerja buruk (disinsentif). Hukum dan disiplin yang diterapkan dimaksudkan untuk menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan dan prestasi kerja yang buruk. Bentuk sanksi yang paling banyak dijumapai adalah sanksi psikologis, seperti diperingatkan atau dimarahi pimpinan, dan selebihnya berupa sanksi administrative, seperti mutasi jabatan, penundaan kenaikan pangkat, atau tidak diberi pekerjaan oleh pimpinan.

Tabel 11
Bentuk Sanksi yang Diterapkan di Instansi

Sumatra Barat (N=255)
Daerah Istimewa Yogyakarta (N=302)
Sulawesi Selatan (N=259)
Dimarahi pimpinan
7,8
5,0
11,6
Diperingatkan pimpinan
82,4
87,7
74,1
Pemotongan bonus/ intensif
0,8
-
0,4
Penurunan pangkat/ jabatan/ eleson
0,8
-
0,8
Mutasi ke jabatan yang tidak menarik
1,6
1,0
7,7
Penundaan kenaikan pangkat/ gaji
0,4
0,7
0,4
Tidak diberikan pekerjaan oleh pimpinan
0,8
0,7
0,4
Pembinaan oleh pimpinan
1,2
4,0
-
Sanksi sosial psikologis
0,8
0,7
-
Sanksi dari masyarakat
-
0,2
-
Diberhentikan
3,4
-
4,6
Total
100,0
100,0
100,0


Semangat Kerja Sama
            Salah satu faktor penentu kinerja pelayanan public adalah semangat kerja sama diantara aparat penyelenggara pelayanan public. Semangat kerja sama ini antara lain dikonsepkan sebagai kepaduan tim atau ada juga yang menyebutnya sebagai esprit de corps. Stanley E. Seashore (Gibson et.al, 1996) mendefinisikan kepaduan tim sebagai penarikan anggota ke dalam kelompok dan kekuatan masing-masing anggota untuk tetap aktif dalam kelompok serta menolak meninggalkan kelompok. Bentuk keterpaduan tim misalnya yaitu: Apakah pimpinan dan bawahan memberikan kontribusi pada upaya-upaya kelompok dalam pemberian pelayanan kepada pengguna jasa?, Apakah petugas yang tidak melayani pengguna jasa secara langsung telah memberikan dukungan kepada petugas yang melayanipengguna jasa secara langsung?, dll.
Isu utama di dalam keterpaduan tim adalah kerja sama, keterpaduan tim dikonsepkan sebagai semangat kerja sama. Konsep kerja sama tersebut diartikan sebagai kemampuan aparat birokrasi di satu unit kerja untuk bekerja sama dalam rangka pemberian pelayanan yang terbaik kepada masyarakat pengguna jasa. Semangatkerja sama yang rendah di antara aparat birokrasi tampak bahwa ketika menemui kesulitan dalam memberikan pelayanan, tindakan yang dilakukan aparat adalah penundaan pelayanan. Secara ideal, setiap kesulitan yang dihadapi oleh aparat seharusnya dapat meminta bantuan kepada rekan kerjanya.

Tabel 12
Tindakan yang Dilakukan Petugas ketika Menemui Kesulitan di Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan

Sumatra Barat (N=287)
Daerah Istimewa Yogyakarta (N=325)
Sulawesi Selatan (N=300)
Penundaan pelayanan
67,9
62,2
70,7
Bantuan rekan kerja
8,7
16.9
6,0
Diatasi sendiri
23,3
20,9
23,3

            Prinsipdalam penyelenggaraan pelayanan public adalah bahwa setiap petugas pelayanan harus dapat memberikan pelayanan kepada pengguna jasanya dengan baik sebagai bentuk tndakan responsivitas terhadap pengguna jasa. Apabila seorang aparat birokrasi tidak mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa, hanya karena bukan orang yang pertama yang menerima dokumen pelayanan, sebanarnya sudah dapat dilihat bahwa kinerja pelayanannya termasuk buruk. Kinerja pelayanan yang responsif, efisien, dan akuntabel harus tetap berdasarkan pada semangat keterkaitan dan terciptanya networking antar aparat maupun antar unit pelayanan. Namun, semangat ke arah tersebut tampaknya masih sulit untuk dilakukan.
            Kerjasama tim diantara aparat birokrasi terlihat belum menjadi budaya dalam birokrasi pelayanan. Pandangan dan pemikiran yang muncul dari setiap aparat adalah hanya mengerjakan tugas yang menjadi kewajibannya sendiri, tanpa perlu membantu pekerjaan aparat lain. Hal tersebut muncul karena pemberian pelayanan masih dianggap belum menjadi tangung jawab bersama semua aparat birokrasi, tetapi dipahami hanya sebatas tanggung jawab beberapa aparat saja. Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan belum sepenuhnya menerapkan pelayanan sebagai suatu totalitas, yang eksistensi dan citra organisasi pelayanan di mata klien itu akan sangat ditentukan oleh citra dan kinerja aparat pelayanan secara keseluruhan.

Tabel 13
Penyelesaian yang DiterimaMasyarakat Setelah Menunggu Petugas di Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan

Sumatra Barat (N=335)
Daerah Istimewa Yogyakarta (N=269)
Sulawesi Selatan (N=308)
Dibiarkan
5,4
4,1
1,6
Tetap menunggu
46,0
36,4
35,7
Ditinggal
36,7
53,9
50,9
Dikerjakan petugas lain
11,9
5,6
11,7

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to " "

Posting Komentar