DETERMINAN KINERJA PELAYANAN PUBLIK
Kewenangan
Diskresi
Diskresi secara
konseptual merupakan suatu langkah yang ditempuh oleh administrator untuk
menyelesaikan suatu kasus tertentu yang tidak atau belum diatur dalam suatu
regulasi yang baku. Pertimbangan melakukan diskresi yaitu adanya realitas bahwa
suatu kebijakan ataau peraturan tidak mungkin mampu merespon banyak aspek dan
kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor
dalam proses merumuskan suatu kebijakan atau peraturan. Chalder dan Plano
mengimplementasikan bahwa tindakan diskresi diperlukan sebagai kewenangan untuk
menginterpretasikan kebijakan yang ada atas suatu kasus yang belum atau tidak
diatur dalam suatu ketentuan yang baku. Diskresi sendiri menjadi isu krusial
dalam pelayanan publik seiring dengan adanya tuntutan kepada aparat birokrasi
untuk dapat memberikan pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel
kepada publik. Selama masa 32 tahun Orde Baru, birokrasi berposisi sebagai
kekuatan sentral dalam mengatur kehidupan masyarakat. Indikator dalam
penelitian yang digunakan untuk melihat diskresi birokrasi meliputi serangkaian
tindakan yang dilakukan aparat pelayanan berdasarkan pada inisiatif, kreativitas
dan tidak terlalu bersandar pada peraturan. Tindakan tersebut dilakukan untuk
mengatasi kesulitan ketika pimpinan tidak berada di tempat kerja. Kedua,
tindakan ini dilakukan ketika menemui kesulitan dalam menjalankan tugas.
Ketiga, pernah tidaknya menerapkan prosedur pelayanan yang berbeda dengan peraturan.
Aparat pelayanan yang bertindak atas dasar peraturan dinilai mempunyai tingkat
diskresi yang buruk. Data survei memperlihatkan masih tingginya tingkat
ketergantungan aparat pelayanan kepada pimpinan dalam pemberian pelayanan
publik.
Tabel 1
Inisiatif
Pelayanan Ketika Pimpinan Tidak Ada
Jenis Tindakan
|
Sumatra Barat
|
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
|
Sulawesi
Selatan
|
Penundaan pelayanan
Bantuan rekan kerja
Inisiatif sendiri
|
37,3
15,3
47,4
|
43,1
27,4
29,5
|
49,7
10,7
39,6
|
Total
N= 912
|
100,0
N=287
|
100,0
N=325
|
100,0
N=300
|
Pada kasus pemberian pelayanan
perizinan, presentase aparat yang melakukan tindakan penundaan pelayanan juga
terlihat tinggi, yakni 49,7 persen. Secara umum tingkat keberanian aparat
birokrasi dalam mengambil inisiatif pelayanan atau suatu kasus pelayanan tanpa
melibatkan pimpinan masih tergolong rendah. Mentalitas dan etos kerja aparat
yang tidak memiliki komitmen tinggi terhadap pelayanan masyarakat turut pula
memberikan andil besar daalam menghambat kinerja pelayanan birokrasi. Aparat
pelayanan di semua tingkatan pemerintahan di ketiga daerah penelitian, baik
pada pelayanan pertahanan maupun perizinan, menunjukkan kecenderungan untuk
takut mengambil inisiatif dalam mengatasi kesulitan pemberian pelayanan.
Tindakan aparat tersebut cenderung menyebabkan kerugian berada pada pihak
masyarakat, terutrama dalam masalah kepastian dan ketepatan waktu pelayanan.
Tindakan tersebut merupakan suatu bentuk feodalisme yang masih mempengaruhi
orientasi tugas dan kinerja birokrasi pelayanan. Pimpinan dijadikan sebaagai
perisai bagi aparat untuk berlindungdari kesalahan dalam mengambil tindakan
pelayanan. Implikasi orientasi kerja tersebut pada semakin meluasnya rasa
taakut mengambil inisiatif sehingga daya kreativitas, inovasi dan kinerja
pemberian pelayanan aparat turut pula menjadi rendah.
Tabel 2
Tindakan Aparat Ketika
Menemui Kesulitan Tugas
Jenis Tindakan
|
Sumatra
Barat
|
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
|
Sulawesi
Selatan
|
Meminta Petunjuk Atasan
Bantuan Rekan Kerja
Inisiatif sendiri
|
67,9
8,7
23,3
|
62,2
16,9
20,9
|
70,7
6,0
23,3
|
Jumlah
N= 912
|
100,0
N=287
|
100,0
N=325
|
100,0
N=300
|
Masalah koordinasi dan masih belum
adanya kesamaan visi pelayanan diantara instansi terkait diakui masih menjadi
kendala dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Sistem kerja birokrasi belum
memberikan ruang yang luas kepada aparat birokrasi untuk melakukan inisiatif
pelayanan yang tetap mengacu kepada visi dan misi organisasi. Kondisi tersebut
mengimbas pada semakin suburnya budaya minta petunjuk kepada pimpinan. Tindakan
inisiatif pelayanan yang dilakukan tetap harus di konsultasikan kepada pimpinan
dengan alasan agar tidak dianggap sebagai tindakan yang dianggap melangkahi
wewenang pimpinan.
Koordinasi antar
instansi terkait diakui membawa permasalahan tersendiri yang semakin mempersulit
kecepatan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat merasa dipermainkan
oleh aturan birokrasi sehingga seringkali membuat masyarakat merasa kecewa dan
jengkel. Kesamaan visi pelayanan yang berorientasi pada pelanggan dan
sosialisasi kebijakan pada tiap-tiap instansi pelayanan masih terlihat lemah.
Di sisi lain, ketidaksamaan visi pelayanan yang berorientasi pada pelanggan,
efisiensi, kecepatan, dan transparan, baik di kalangan aparat maupun pada
tingkat antar instansi pelayanan, merupakan titik rawan bagi munculnya berbagai
kasus penyimpangan wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pemberian
jasa atau kompensasi pelayanan akan membawa implikasi ekonomi yang
menguntungkan aparat pelayanan.
Birokrasi
sendiri dikembangkan dengan memakai prinsip konstaktual, artinya terdapat
penerapan hubungan antara penyelenggara pelayanan dengan pengguna jasa dalam
pemberian pelayanan publik. Hanya saja, dalam konteks di Indonesia telah
terjadi keterpaksaan dari salah satu pihak (penyelenggara pelayanan) untuk
melakukannya demi kecepatan penyelesaian urusan. Hubungan pelayanan yang
tercipta , dengan demikian bersifat asimetris karena tidak mengindahkan
prinsip-prinsip ekonomi, keadilan, dan salingmenguntungkan dari kedua belah
pihak. Kualitas sumber daya manusia di lingkungan birokrasi pelayanan ternyata
bukan merupakan satu-satunya faktor yang signifikan yang menjelaskan rendahnya
kemampuan diskresi birokrasi. Inisiatif pelayanan dianggap sebagai tindakan
yang menyalahi prinsip responsibilitas sehingga dianggap merupakan tindakan
penyimpangan atau pelanggaran yang akan mendatangkan sanksi administratif
tertentu. Keyakinan tersebut secara faktual masih menjadi norma pelayanan yang
di pegang kuat oleh sebagian besar aparat pelayanan. Aparat pelayanan apabila
menemui kesulitan, dengan mudah akan melakukan tindakan pelayanan yang
merugikan masyarakat. Tindakan pelayanan kepada publik yang cenderung berpegang
kepada prosedur dan prinsip-prinsip administratif yang akan dijalankan secara
kaku masih dipahami oleh aparat pelayanan sebagai suatu sistem nilai dan
mekanisme kerja pelayanan baku yang terinternalisasikan secara institusional
ataupun individual. Belum diterapkannnya manajemen pelayanan dan hubungan kerja
yang partisipatif yang berorientasi pada kerja sama menjadikan birokrasi
pelayanan masih bercorak pada nilai-nilai kekuasaan daripada nilai-nilai
pelayanan publik. Adanya prinsip loyalitas yang dipahami secara keliru oleh
aparat pelayanan berdaampak implikasi pada rendahnya kemampuan melakukan
diskresi. Kesalahan dalam memahami makna loyalitas telah menyebabkan orientasi
kinerja aparat cenderung vertikal, bukan berstandart paada
kepentingan-kepentingan masyarakat pengguna jasa.
Dalam lingkungan
birokrasi, permasalahan kewenangan masih benar-benar dipahami secara tekstual.
Pimpinan memegang kebijakan sehingga aparat pelayanan tingkat bawah tidak
memiliki banyak kelonggaran untuk menginterpretasikan kebijakan, termasuk yang
menyangkut masalah teknis pemberian pelayanan. Penerapan suatu standart
pelayanan yang mengikuti prosedur alternatif merupakan salah satu bentuk
improvisasi pelayanan yang diberikan oleh aparat atas dasar aspirasi dan
kebutuhan masyarakat.
Tabel 3
Dasar Penarapan
Prosedur Pelayanan
Dasar penerapan
prosedur pelayanan
|
Sumatra
Barat
|
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
|
Sulawesi
Selatan
|
Aturan Formal/ Jungklak
Sesuai Situasi
|
81,5
18,5
|
76,3
23,7
|
88,0
12,0
|
Jumlah
N=912
|
100,0
287
|
100,0
325
|
100,0
300
|
Sebagian besar
aparat pelayanan di ketiga daerah penelitian, baik pada kaasus pelayanan
pertahanan maupun perizinan, tidak pernah menerapkan prosedur pelayanan yang
berbeda dengan aturan formal atau jungklak. Aparat pelayanan di kantor
kecamatan dan desa lebih fleksibel dalam melakukan improvisasi pemberian
pelayanan. Aparat desa dapat memberikaan pelayanan taanpa harus berpedomaan
pada aturan formaal secara kaku.
Aparat pelayanan
di Daerah Istimewa Yogyakarta justru terlihat lebih banyak yang menerapkan
formalisme dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dibandingkan dengan
aparat di Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan. Formalisme pelayanan merupakan
bentuk pelayanan yang ditawarkan oleh aparat pelayanan kepaada masyarakat
pengguna jasa dengan menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah
pendekatan formal. Pendekatan formal yaitu aparat pelayanan menyodorkan
serangkaian persyaratan formal sebagai prosedur administratif birokratis yang
harus dipenuhi oleh masyarakat pengguna jasa. Pendekaatan kedua aadalah
pendekatan komprom, yakni aparat pelayanan menaawarkan jasa pengurusan prosedur
pelayanan tanah kepada masyarakat pengguna jasa dengan meminta kompensasi
berupa uaang jaasa pengurusan.
Tabel
4
Tindakan
Pemenuhan Kecepatan Pelayanan
Tindakan Pelayanan
|
Sumatra
Barat
|
Daerah
Istimewaa
Yogyakarta
|
Sulawesi
Selatan
|
Menolak
Melayani dengan syarat dipenuhi kemudian
|
46,3
53,7
|
67,4
32,6
|
53,0
47,0
|
Total
N=912
|
100,0
N=287
|
100,0
N=325
|
100,0
N=300
|
Kedua pendekatan tersebut
diterapkan secara komplementer, sehingga seringkali pendekatan formal hanya
digunakan sebagai umpan bagi penggunaan pendekatan kompromi. Aparat pelayanan
yang menerapkan prosedur pelayanan alternatif, selain aturan formal atau
juklak, pada umumnya telah memiliki tingkat kesadaran yang tinggi pada
pentingnya kelancaran pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Aparat
pelayanan mampu memahami kesulitan-kesulitan yang dirasakan oleh masyarakat
pemohon. Keluwesan dalam menerapkan aturan formal kepada masyarakat pengguna
jasa belum terlihat pada sebagian besar parat pelayanan. Dalam banyak kasus,
aparat pelayanan lebih banyak yang menolak memberikan pelayanan apabila
terdapat persyaratan dari pengguna jsa yang tidak memenuhi ketentuan dalam
aturan formal. Alasan utama yang mendasarinya adalah aparat tidak ingin
mengambil resiko ataas munculnya permaasalahan pada fase pelayanan berikutnya
sehingga dikhawatirkan aakan menjadi kan pelayanan lebih lama. Penolakan
pemberian pelayanan oleh sebagian besar aparat biasanya dilakukan melalui
cara-cara yang halus seperti memberitahukan kepaada masyarakat pemohon mengenai
kekurangan persyaratan administratif yang masih perlu ditambahkan.
Tabel
5
Penolakan
Pelayanan Akibat Kurangnya Persyaratan Administratif Di Sumatra Barat, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Dan Sulawesi Selatan
Tindakan
Pelayanan
|
Instansi
Pelayanan
|
||
Sumatra
Barat
|
Daerah
Istimewa Yogyakarta
|
Sulawesi
Selatan
|
|
Ya
Tidak
|
76,7
23,3
|
88,0
12,0
|
87,0
13,0
|
Jumlah
N = 912
|
100,0
N
= 287
|
100,0
N
= 325
|
100,0
N
= 300
|
Orientasi
terhadap Perubahan
Orientasi terhadap perubahan menunjuk
pada sejauh mana kesediaan aparat birokrasi menerima perubahan. Perubahan
tersebut tidak hanya menyangkut tuntutan masyarakat yang senantiasa berkembang,
tetapi juga pengetahuan mengenai berbagai hal yang terjadi dalam lingkungan di
luar birokrasi, seperti perkembangan teknologi.Orientasi perubahan juga
ditandai dengan adanya aksi atau tindakan yang dilakukan oleh aparat untuk
melakukan perubahan. Orientasi pada perubahan adalah suatu sikap yang
berlawanan dengan orientasi pada kemapanan (status quo). Semakin tinggi sikap
terhadap perubahan, maka semakin rendah pula orientasi terhadap status quo.
Namun
tampaknya keadaan tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Orientasi perubahan
yang ada pada aparat birokrasi pelayanan masih rendah . namun, teah ada usaha
usaha dari aparat untuk melakukan perubahan meskipun baru sebagian kecil saja.
Orientasi pada perubahan yang harus dimiliki oleh seorang aparat birokrasi
berkaitan dengan luasnya wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya. Wawasan
seorang aparat tak hanya berkaitan dengan tugas sebagai pegawai pemerintah,
melainkan lebih pada kemampuan dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan
yang terjadi di luar lingkungan organisasinya.
Tabel
6
Kegiatan
Studi Banding yang Diikuti dalam Tiga Tahun Terakhir di Sumatra Barat, daerah
Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan
Kegiatan Studi Banding yang Diikuti Tiga Tahun
terakhir
|
Sumatra Barat
|
Daerah Istimewa Yogyakarta
|
Sulawesi Selatan
|
|||
N
|
%
|
N
|
%
|
N
|
%
|
|
Ya
|
167
|
58,2
|
190
|
58,5
|
164
|
54,7
|
Tidak
|
120
|
41,8
|
135
|
41,5
|
136
|
45,3
|
Jumlah
|
287
|
100,0
|
325
|
100,0
|
300
|
100,0
|
Berdasarkan
hasil survei, bahwa kegiatan aparat birokrasi untuk yang mengikuti studi
banding maupun studi lanjut belum begitu baik. Secara umum, kondisi tersebut
dapat memberikan gambaran bahwa secara kelembagaan komitmen birokrasi untuk
melakukan perubahan internal masih tergolong lemah. Birokrasi masih belum
sepenuhnya menunjukkan komitmen untuk melakukan reformasi internal dan berubah
dengan melihat dan membandingkan berbagai kegiatan pelayanan yang dilakukan
oleh institusi pelayanan lainnya.
Tabel
7
Persentase
Aparat yang Mengikuti Studi Banding atau Studi Lanjut menurut Instansi
Pelayanan
Asal Instansi
|
Sumatra Barat
|
Daerah Istimewa Yogyakarta
|
Sulawesi Selatan
|
|||
N
|
%
|
N
|
%
|
N
|
%
|
|
Badan Pertanahan Nasional
|
18
|
10,8
|
30
|
41,1
|
34
|
20,7
|
Kantor Perijinan
|
39
|
23,4
|
77
|
56,2
|
51
|
31,1
|
Kantor Kecamatan dan Desa
|
110
|
65,9
|
83
|
73,2
|
79
|
48,5
|
Jumlah
|
167
|
100,0
|
190
|
100,0
|
164
|
100,0
|
Kegiatan
studi banding dan studi lanjut yang diberikan oleh lembaga birokrasi pelayanan
kepada aparatnya, dilihat dari instansi pemberi pelayanan, tampak bahwa aparat
birokrasi kecamatan dan desa ternyata yang paling banyak mengikuti kegiaran
tersebut. Minimnya aparat yang berasal dari Kantor Badan Pertanahan Nasional
yang pernah mengikuti kegiatan Studi banding atau studi lanjut menunjukkan
bahwa statemen yang selama ini sering dilontarkan oleh berbagai pihak,
khususnya masyarakat pengguna jasa, bahwa birokrasi pertanahan tidak banyak
mengalami perubahan setelah reformasi cukup beralasan.
Kesan yang seringkali terlihat
menyangkut birokrasi pelayanan pertanahan adalah bahwa Kantor Badan Pertanahan
Nasional (BPN) cenderung lebih menutup diri dibandingkan dengan instansi
pelayanan yang lain. Rendahnya komitmen perubahan pada kantor pelayanan
pertanahan tersebut erat kaitannya pula dengan beban pekerjaan kantor pelayanan
pertanahan yang berat.
Aparat birokrasi yang sering
melakukan studi banding dan studi lanjut akan mengalami peningkatan mobilitas
vertikal. Semakin sering aparat birokrasi keluar dari lingkungannya, akan
semakin luas pula wawasan dan cakrawala pemikirannya. Orientasi pada perubahan
yang terjadi pada birokrasi pelayanan publik belum menjadi bagian terpenting
dari kemajuan organisasinya. Faktor yang menyebabkan pegawai belum memiliki
rasa dan semangat untuk berubah adalah faktor internal dan eksternal. Faktor
internal meliputi usia dan motivasi aparat birokrasi, sedangkan faktor
eksternal mencakup lingkungan kerja dan atasan.
Faktor usia menjadi hambatan
seseorang. Argumen mereka adalah bahwa pekerjaan yang mereka lakukan sifatnya
rutin sehingga belum memerlukan tambahan pengetahauan yang lain.Seiring
bertambah usia, pemikiran tidak terlalu dipacu lagi untuk menghasilkan ide-ide
baru. Faktor Internal lain adalah tidak adanya motivasi dari pribadi aparat
yang bersangkutan untuk mengembangkan diri menyesuaikan perkembangan yang
terjadi di luar lingkungan birokrasi.
Faktor eksternal yang menghambat
orientasi pada perubahan adalah lingkungan kerja dan atasan. Iklim lingkungan
kerja dalam birokrasi pelayanan publik yang memiliki orientasi ke depan belum
sepenuhnya dapat dilakukan. Hal tersebut disebabkan faktor heterogenitas
pendidikan di kalangan aparat birokrasi. Rendahnya tingkat pendidikan sebagian
besar aparat birokrasi tersebut menyebabkan orientasi birokrasi pada perubahan
cenderung rendah.
Lingkungan memberikan andil bagi
seorang aparat memiliki pemikiran ke depan banyak aparat birokrasi setelah
mengikuti diklat, studi banding, ataupun menamatkan pendidikan S-2 nakan
kembali berfikir dengan pola lama seperti sebelumnya. Faktor lingkungan yang
berasal dari bawahan ataupun teman setingkat seringkali membuat seorang aparat
tersebut urung mengemukakan ide-ide pembaharuan yang dimilikinya.
Faktor eksternal yang lain untuk
melihat orientasi pada perubahan di kalangan aparat birokrasi pelayanan adalah
sikap pimpinan. Memasuki masa reformasi telah terjadi perubahan atas sikap
pimpinan terhadap bawahan. Pimpinan saat ini telah banyak yang mulai memberikan
kesempatan kepada bawahannya untuk menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dan
mulai mengurangi jarak dengan bawahannya. Namun, tidak semua pimpinan memiliki
orientasi yang sama untuk mengembangkan bawahannya agar berfikir maju ke depan.
Aparat Birokrasi yang memiliki
wawasan berfikir luas akan mendapatkan peran strategis dalam organisasi
birokrasi. Namun ironisnya, sistem kerja dalam birokrasi di Indonesia sendiri
tidak pernah mempunyai tradisi untuk memberikan penghargaan kepada mereka yang
berprestasi. Manifestasi sikap aparat birokrasi yang berobsesi untuk
mempertahankan status quo adalah takut menghadapi perubahan, tidak inovatif,
dan tidak mau mengambil resiko. Ketakutan dalam menghadapi perubahan yang
timbul di dalam diri aparat birokrasi biasanya adalah pejabat birokrasi,
sesungguhnya disebabkan oleh faktor kapabilitas mereka yang sangat
terbatas. Perubahan yang terjadi seperti
dalam hal reorganisasi, peningkatan pemanfaatan teknologi, dan tuntutan akan
pengetahuan dan keterampilan dianggap merupakan ancaman nyata terhadap
kedudukan, jabatan, karier, dan penghasilannya.
Aparat birokrasi yang takut
menghadapi perubahan akan membawa implikasi pada kemampuan dan daya inovatif
aparat. Aparat birokrasi pelayanan yang tidak inovatif memiliki kecenderungan
untuk mempertahankan mekanisme, prosedur, dan teknik-teknik yang usang tanpa
mempedulikan kesesuaiannya dengan perkembangan tuntutan masyarakat dan tuntutan
organisasi modern, seperti peningkatan produktivitas, efisiensi, dan
efektivitas kerja organisasi.
Sistem birokrasi pelayanan di
Indonesia selama ini dibangun di atas budaya paternalisme yang lebih bersifat
feodalistik. Kondisi budaya pelayanan demikian membawa implikasi pada
terbatasnya akses setiap aparat untuk dapat menyampaikan ide-ide perubahan
secara bebas kepada organisasi. Setiap aparat birokrasi, khususnya aparat
birokrasi pada tingkat bawah, cenderung dihinggapi perasaan takut untuk menyampaikan
ide perubahan kepada pimpinannya. Sebaliknya, kelompok aparat birokrasi yang
tidak memiliki orientasi pada perubahan cenderung bersikap pasif dan hanya
mengerjakan tugas-tugas rutin tanpa mampu mengembangkan ide-ide untuk mengubah
pelayanan menjadi lebih efisien.
Aparat birokrasi yang memiliki
orientasi pada perubahan, pada umumnya mempunyai keinginan untuk menghilangkan
budaya ewuh pakewuh yang selama ini
berkembang dalam birokrasi. Budaya tersebut telah menjadikan sistem kerja
birokrasi terasa sangat sulit untuk mengakomodasi perubahan. Sistem budaya
tersebut juga yang menjadikan budaya kritik tidak dapat berkembang di dalam
birokrasi. Namun, sebagian besar aparat birokrasi masih merasa takut akan
akibat yang ditimbulkannya, seperti akan ada kekhawatiran akan dibenci dan
disingkirkan dari lingkungan.
Osborne
dan Plastrik (1997) mengatakan bahwa perubahan pada awalnya sangat sulit
dilakukan karena harus berhadapan dengan kultur kekuasaan birokrasi yang telah
lama terbentuk. Kebiasaan, perasaan, dan pola pikiran serta perilaku aparat
birokrasi telah dibentuk selama puluhan tahun oleh sistem dan pengalaman
birokratis sehingga perubahan tentu saja memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, dapat dipahami apabila banyak kalangan, termasuk aparat
birokrasi sendiri, yang menjadi skeptis terhadap efektivitas komitmen perubahan
yang akan dilaksanakan.
Bagi beberapa aparat birokrasi,
perubahan dapat berarti uang. Perubahan berarti akan terjadinya rotasi
kekuasaan dalam organisasi yang membawa implikasi pada perbaikanstruktur
jabatan dan karier seseorang. Perubahan dapat pula dipahami sebagai peningkatan
peluang untuk mengembangkan profesionalitas. Tetapi, Perubahan bisa juga justru
berarti mengancam hak istimewa yang selama ini telah dinikmati.
Dalam situasi budaya birokrasi
demikian, tatanan sosial yang berlaku dalam birokrasi sebenarnya lebih
menekankan pada situasi kehidupan yang harmonis. Harmoni sosial dalam birokrasi
harus tetap dipelihara karena akan membawa konsekuensi pad penciptaan ketertiban.
Pihak yang melontarkan ide perubahan seringkali justru akan mendapatkan stigma
sebagai antikemapanan. Namun, komitmen terhadap perubahan di kalangan aparat
birokrasi dipengaruhi pula oleh kondisi politik eksternal yang kondusif untuk
mendukung terjadinya perubahan dalam birokrasi.
Meskipun hampir sebagian besar
aparat birokrasi menyatakan bahwa studi banding tersebut sangat penting untuk
dilakukan, kecenderungan yang terjadi justru kegiatan studi banding atau studi
lanjut hanya semata mata dipergunakan sebagai batu loncatan meraih jabatan
tinggi di birokrasi.
Kelompok aparat birokrasi yang
menganggap bahwa kegiatan studi banding atau studi lanjut tersebut kurang
penting adalah aparat yang berasal dari pegawai golongan tua. Aparat tersebut
biasanya masa kerja nya telah lama dan sebentar lagi akan memasuki masa
pensiun. Kegiatan Studi banding menurutnya hanya bermanfaat untuk kepentingan
diri sendiri. Maka dari itu, kelompok tersebut menganggap studi banding dirasa
kurang bermanfaat.
Aparat birokrasi pemerintah tidak
perlu melakukan atau memiliki etos kerja yang tinggi sebagaimana pegawai swasta
karena bagi pegawai swasta apabila mereka tidak melakukan pekerjaan dengan baik
sewaktu-waktu dapat dipecat dari pekerjaannya.
Budaya Paternalisme
Budaya petenalisme adalah suatu sistem yang
menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Dalam paternalisme,
pola hubungan dipandang secara hierarkis. Pihak pejabat birokrasi atau pimpinan
ditempatkan lebih dominan daripada aparat bawahan karena seorang pimpinan harus
dapat memberikan perlindungan terhadap bawahannya. Dalam konteks sistem
pelayanan public, paternalisme memiliki dua dimensi. Pertama, hubungan
paternalism antara aparat birokrasi dengan masyarakat pengguna jasa. Kedua,
hubungan paternalisme yang terjadi antara pimpinan instansi atau atasan dengan
para aparat staf pelaksana atau bawahan. Paternalisme yang pertama lebih
menunjuk pada hubungan yang bersifat eksternal, sedangkan paternalism yang
kedua menunjuk pada hubungan yang bersifat internal yakni di dalam organisasi
birokrasi sendiri.
Paternalisme tumbuh subur dipengaruhi oleh kultur
feodal yang sebagian besar wilayah di Indonesia yang semula merupakan daerah
bekas kerajaan. Wilayah-wilayah bekas kerajaan ini telah mempunyai sistem nilai,
norma, dan adat kebiasaan yang selalu menjunjung tinggi dan mengagungkan
penguasa sebagai orang yang harus dihormati karena mereka telah memberikan
kehidupan dan pengayoman bagi warga masyarakat.
Budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh hubungan
‘bapak’ dengan ‘anak’ yang pada prinsipnya ‘bapak’ menanggung pemenuhan
kebutuhan sosial, material, spiritual, dan emosial anak. Budaya birokrasi yang
berakar dari budaya keraton, dengan mengadopsi berbagai ritual, seremonial, dan
simbol-simbol cultural dari kerajaan-kerajaan di jawa, masih dikembangkan
sampai sekarang di lingkungan birokrasi pemerintah.
Paternalisme di Sulawesi Selatan pada awalnya
terbentuk dari adanya seperangkat nilai-nilai, keyakinan, dan simbol yang
ditemukan pada masa kerajaan Gowa sekitar akhir abad XIII atau awal abad XIV.
Pada waktu itu ditemuakn benda-benda aneh yang oleh penemunya dipolitisasi
sebagai benda titipan dewa, yang memberikan kekuasaan kepada penemunya untuk
memerintah di bumi. Benda-benda yang diyakini sebagai sumber kekuasaan tradisional
tersebut dinamakan gaukang, sedangkan penemu benda tersebut dianggap sebagai
manusia pilihan dewa dan ditempatkan di lapisan tertinggi dalam pelapisan
sosial masyarakat.
Pengaruh budaya Minangkabau terhadap pembentukan
paternalisme dalam struktur birokrasi pemerintahan Sumatra Barat berlangsung
melalui transformasi sistem nilai nagari ke dalam sistem birokrasi local.
Sejarah terbentuknya birokrasi pemerintahan di Sumatra Barat dilakukan dengan
cara menggabungkan otoritas tradisional (nagari) ke dalam sistem birokrasi
modern. Pengaruh penggabungan tersebut masih dapat terlihat dengan adanya
pengangkatan para pejabat local yang harus mengikuti hukum adat dan tatacara
dari kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minagkabau.
Penyelenggaraan pelayanan bagi kepentingan umum
harus pula mempertimbangkan heteroginitas kehidupan masyarakat yang
dilayaninya. Dengan demikian, antara pelayan atau aparat demokrasi dengan
masyarakat, seharusnya terjadi hubungan yang saling mengisi dan saling
membutuhkan. Konsep tersebut dalam kultur jawa dikenal dengan sebutan
manunggaling kawula lan gusti. Pencerminan dari konsep ini secara normative di
dalam kehidupan sehari-hari birokrasi terlihat dari sikap dan perilaku para
aparat birokrasi yang besedia melakukan kompromi, bekerja sama, dan menyatu
dengan rakyatnya. Sebaliknya, rakyat sebagai kawula atau pengikat dengan tulus
ikhlas mengabdikan dirinya untuk kepentingan pimpinannya (gusti).
Kondisi tersebut berbeda halnya dengan yang terjadi
pada birokrasi di Sumatra Barat. Kultur masyarakat Minangkabau dengan gaya
kepemimpinan yang bersifat komunal dan egalitarianisme membawa pengaruh kuat
dalam sistem budaya birokrasi dan pelayanan public di Sumatra Barat. Dalam
budaya minangkabau, seorang pimpinan tidak dapat memerintah bawahan dengan
sewenang-wenang. Pimpinan yang secara seenaknya memerintah bawahan, perintahnya
tidak akanefektif atau dilaksanakan oleh bawahannya. Apabila mempunyai ide dan
ide tersebut ingin memperoleh dukungan untuk dilaksanakan, pimpinan harus
terlebih dahulu menganggap dan memperlakukan aparat bawahannya sebagai anggota
kerabatnya yang harus dipenuhi berbagai kebutuhannya.
Paternalisme pada birokrasi pelayanan di Sulawesi
Selatan dapat dilihat melalui aktualisasi konsep budaya siri oleh aparat
birokrasi. Pada umumnya siri diekspresikan oleh aparat birokrasi untuk
mengutamakan kepentingan pribadi, padahal dalam konsep yang sesungguhnya siri
dipergunakan secara komunal sebagai pengatur tata tertib sosial. Konsep budaya
siri yang bermakna memiliki rasa malu, tidak pernah dapat ditransfer ke dalam
diri aparat birokrasi dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan kepada
masyarakat.
Tabel 8
Tindakan Aparat apabila Pimpinan Melakukan
Kesalahan di Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan
Tindakan Aparat
|
Sumatra Barat
|
DIY
|
Sulawesi Selatan
|
|||
N
|
%
|
N
|
%
|
N
|
%
|
|
Mengingatkan langsung
|
241
|
84,0
|
209
|
64,3
|
219
|
73,0
|
Mengingatkan tidak langsung
|
25
|
8,7
|
46
|
14,2
|
25
|
8,3
|
Membiarkan
|
21
|
7,3
|
70
|
21,5
|
56
|
18,7
|
Jumlah
|
287
|
100,0
|
325
|
100,0
|
300
|
100,0
|
Sumber: Data Primer, 2000.
Kentalnya budaya paternalism dalam birokrasi
pemerintahan, salah satunya dapat terlihat dari besarnya presentase aparat
birokrasi yang tidak berani mengkritik pimpinannya. Semakin besar aparat
birokrasi yang membiarkan tindakan pimpinan yang melakukan kesalahan dapat
merupakan indikasi penting untuk melihat tingkat paternalism dalam birokrasi
pelayanan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap aparat birokrasi di Sumatra
Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan, diketahui bahwa aparat
birokrasi yang tidak berani mengkritik pimpinan secara langsung dan cenderung
membiarkannya masih tetap dijumpai. Hal tersebut mencerminkan bahwa paternalism
masih tetap dianut oleh sebagian aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan.
Pengaruh paternalism juga membawa konsekuensi pada pola pendelegasian wewenang
yang terjadi dalam birokrasi. Dampak dari kultur birokrasi semacam ini akan
menjadikan kebijakan pimpinan sulit untuk dikontrol sehingga dapat memunculkan
kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proses pengangkatan dan pembentukan
partner kerja.
Etika
Pelayanan
Etika
birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam
menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat. Perilaku aparat birokrasi yang
memiliki etika daapat tercermin pada sikap sopan dan keramahan dalam
menghaadapi masyarakat pengguna jasa. Di dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, terdapat dua pihak yang saling berhadaapan dan saling berbeda
kepentingan. Pihak aparat birokrasi sebagai pemberi layanan yang berhadapan
dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan. Keduanya terdapat perbedaan
yang sangat mencolok. Aparat birokrasi pada dasarnya sebaagai abdi, bukannya
tuan. Kecenderungan yang justru terjadi adalah abdi masyarakat dibalikkan
artinya menjadi masyarakat menjadi abdi birokrat. Dalam realitasnya, pelayanan
menunjukkan bahwa aparat birokrasi dalam melakukan pelayanan terdapat pembedaan
pelayanan terhadap pengguna masyarakat. Aparat akan terlihat lebih ramah kepada
masyarakat pengguna jasa yang menunjukkan sebagai orang kaya, sedangka
masyarakat dari penampilan yang sederhana, mendapatkan perlakuan yang tidak
sebaik pengguna jasa seperti kelompok masyarakat kaya. Motif aparat birokrasi
dalam melakukan pembedaan pelayanan disebabkan oleh kedekatan hubungan dengan
aparat birokrasi. Tak hanya itu, masyarakat yang dilayani oleh aparat birokrasi
sebagian besar aadalah seorang anggota atau aparat keamanan yang berseragam
lengkap dengan tanda paangkatnya. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan keramahan
pelayanan juga ditentukan oleh jabatan yang dimiliki pengguna jasa. Seperti
halnya paada pengurusan sertifikasi tanah. Seorang calo yang telah dikenal
petugas, dalam proses pengurusannya akan lebih cepat dibanding dengan
masyarakat biasa. Aparat birokrasi pertanahan biasanya memiliki klien favorit
dalam pelayanan seperti PPAT, notaris, dan perantara atau para calo. Warga
masyarakat biasa yang ingin mengurus tanah seringkali merasa dipermainkan oleh
aparat birokrasi pertanahan. Kerumitran masalah tanah semakin bertambah
kompleks seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang membutuhkan tanah,
baik untuk keperluan pembangunan, perumahan, industri, maupun rekreasi.
Permasalahan
etika dalam pemberian pelayanan tanah di Padang, Sumatera Barat justru banyak
terjadi karena cenderung diinginkan oleh masyarakat pengguna jasa. Bagi
masyarakat pengguna jasa pelayanan di Sumatera Barat, strategi yang
dipergunakan agar mereka tidak di rendahkan oleh aparat birokrasi adalah dengan
menggunakan pengaruh uang. Dalam pandangan masyarakat, pihak yang mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi daripada pihak yang diberi yakni aparat atau
pejabat birokrasi. Penghargaan terhadap pengguna jasa terlihat belum menjadi
bagian dari budaya pelayanan birokrasi. Secara kelembagaan, pemberian pelayanan
kepada publik belum sepenuhnya mengembangkan prinsip kompetensi, yakni
kemampuan aparat birokrasi untuk mengetahui dan memenuhi proses pelayanan yang
dibutuhkan pengguna jasa. Pembedaan atas dasar afiliasi sosial kemasyarakatan
juga sering dijumpai dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pada pelayanan di
instansi Catatan Sipil, masalah etika pelayanan yang sering muncul adalah
pembedaan pelayanan atas dasar latar belakang etnis. Biasanya masyaarakat
pengguna jasa yang kebetulan berasal dari warga negara keturunan etnis Cina
akan diperlakukan secara berbeda dengan masyarakat pengguna jasa warga negara
Indonesia asli. Dasar pembedaan tersebut disebabkan oleh undang-undang yang
masih menggunakan staatblad zaman Belanda. Undang-undang tersebut pada dasarnya
masih membedakan warga negara menjadi warga negara asli, keturunan atau timur
jauh dan warga negara asing. Pembedaan sikap birokrasi dalam pemberian
pelayanan juga cenderung di dasarkan pada tingkatan birokrasinya. Seperti hal
nya warga masyarakat yang berurusan dengan birokrasi pelayanan pemerintah di
tingkat kabupaten cenderung harus lebih ramah dan lebih bersikap manis kepada
aparat birokrasi.
Pemberian
pelayanan yang baik kepada masyarakat, menurut pejabat birokrasi, tidak harus
semuanya dilakukan sesuai Dengan petunjuk, tetapi ada kalanya aparat pelayanan
harus berani memberikan kebijakan tersendiri sesuai dengan masalah yang dihadapi pada saat
pemberian pelayanan. Etika pelayanan dalam kinerja pelayanan publik diperlukan
sebagai bentuk adanya sikap tanggap dari aparat birokrasi terhadap kepentingan
masyarakat pengguna jasa. Aparat birokrassi pelayanan diharapkan dapat
memberikan pelayanan dengan ramah sehingga masyarakat pengguna jasa merasa
memperoleh pelayanan dengan sebaik-baiknya. Jika kondisi pelayanan yang demikian
dapat diciptakan, etika pelayanan publik dapat berjalan.
Sistem Intensif
Salah satu faktor yang menentukan tingkat kinerja
aparat pelayanan public adalah penerapan sistem intensif. Sistem intensif
merupakan elemen penting dalam suatu organisasi untuk memotivasi karyawan
mencapai prestasi kerja yang diinginkan. Intensif yang diberikan kepada
karyawan yang berprestasi berupa penghargaan materi maupun nonmateri, sedangkan
karyawan yang tidak berprestasi mendapatkan disinsetif berbentuk teguran,
peringatan, penuduhan/ penurunan pangkat, atau pemecatan. Sasaran utama
penerapan sistem intensif adalah (Gibson. Et.al, 1996):
- Menarik orang yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi
- Mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja
- Memotivasi karyawan mencapai prestasi tinggi
Pemberian intensif kepada setiap pegawai dilakukan
kepada pegawai yang mempunyai prestasi dan kinerja yang baik dalam melakukan
pekerjaannya. Semakin baik prestasi seseorang berarti semakin tinggi pula
intensif yang diperolehnya. Peningkatan prestasi kerja oleh seorang aparat
birokrasi dilakukan karena berbagai alasan, seperti untuk peningkatan
penghasilan, memperoleh penghargaan dari pimpinan, kepuasan pribadi, promosi
jabatan, kewajiban terhadap tugas, dan pelayanan dan pengabdian pada masyarakat.
Tabel 9
Alasan Pegawai Meningkatkan Prestasi Kerja
|
Sumatra Barat (N=269)
|
Daerah Istimewa Yogyakarta (N=305)
|
Sulawesi Selatan (N=295)
|
Peningkatan penghasilan
|
7,1
|
10,8
|
12,9
|
Penghargaan dari pimpinan
|
4,5
|
2,6
|
8,5
|
Kepuasan pribadi
|
54,6
|
50,8
|
38,6
|
Promosi jabatan
|
15,2
|
4,3
|
24,4
|
Kewajiban terhadap tugas
|
7,1
|
8,9
|
4,1
|
Pelayanan dan pengabdian pada masyarakat
|
9,7
|
14,4
|
9,5
|
Tuntutan masyarakat
|
0,4
|
5,9
|
1,0
|
Terikat sumpah/ janji sebagai PNS
|
1,4
|
2,3
|
1,0
|
Total
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
Dari
sisi aparat demokrasi, baik buruknya intensif yang mereka peroleh atas apa yang
telah dilakukan bagi instansi akan mempengaruhi kinerja mereka. Namun, yang
masih sering menjadi masalah adalah penilaian prestasi kerja karyawan/ petugas
ini masih mengacu pada kepentingan lembaga/ instansi dan belum didasarkan atas
tingkat kepuasan masyarakat pengguna jasa. Sistem intensif yang diberikan pada
aparat sebatas gaji bulanan dan tunjangan hari raya (THR) saja. Tidak adanya
penerapan sistem intensif di beberapa instansi menyebabkan motivasi rendah dari
aparat birokrasi untuk meningkatkan prestasi kerja mereka.
Tabel 10
Bentuk Penghargaan pada Karyawan Berprestasi
|
Sumatra Barat (N=256)
|
Daerah Istimewa Yogyakarta (N=286)
|
Sulawesi Selatan (N=446)
|
Promosi jabatan yang lebih tinggi
|
25,0
|
20,6
|
15,0
|
Penilaian DP3
|
2,0
|
7,7
|
1,6
|
Studi lanjut
|
0,8
|
3,5
|
0,7
|
Diberikan tanggung jawab lebih
|
0,8
|
1,7
|
0,2
|
Pengakuan eksistensi dari lingkungan kerja
|
-
|
0,8
|
-
|
Pemberian bonus berupa uang/barang
|
8,2
|
12,9
|
24,8
|
Pemberian pujian dari pimpinan
|
32,4
|
29,4
|
28,3
|
Pemberian tanda penghargaaTotal
|
30,8
|
23,4
|
29,4
|
Total
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
Di
samping ada sistem intensif bagi karyawan yang berprestasi baik, juga ada
sistem hukuman atau sanksi bagi karyawan yang mempunyai perilaku atau prestasi
kerja buruk (disinsentif). Hukum dan disiplin yang diterapkan dimaksudkan untuk
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan dan prestasi kerja yang buruk.
Bentuk sanksi yang paling banyak dijumapai adalah sanksi psikologis, seperti
diperingatkan atau dimarahi pimpinan, dan selebihnya berupa sanksi administrative,
seperti mutasi jabatan, penundaan kenaikan pangkat, atau tidak diberi pekerjaan
oleh pimpinan.
Tabel 11
Bentuk Sanksi yang Diterapkan di Instansi
|
Sumatra Barat (N=255)
|
Daerah Istimewa Yogyakarta (N=302)
|
Sulawesi Selatan (N=259)
|
Dimarahi pimpinan
|
7,8
|
5,0
|
11,6
|
Diperingatkan pimpinan
|
82,4
|
87,7
|
74,1
|
Pemotongan bonus/ intensif
|
0,8
|
-
|
0,4
|
Penurunan pangkat/ jabatan/ eleson
|
0,8
|
-
|
0,8
|
Mutasi ke jabatan yang tidak menarik
|
1,6
|
1,0
|
7,7
|
Penundaan kenaikan pangkat/ gaji
|
0,4
|
0,7
|
0,4
|
Tidak diberikan pekerjaan oleh pimpinan
|
0,8
|
0,7
|
0,4
|
Pembinaan oleh pimpinan
|
1,2
|
4,0
|
-
|
Sanksi sosial psikologis
|
0,8
|
0,7
|
-
|
Sanksi dari masyarakat
|
-
|
0,2
|
-
|
Diberhentikan
|
3,4
|
-
|
4,6
|
Total
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
Semangat Kerja Sama
Salah
satu faktor penentu kinerja pelayanan public adalah semangat kerja sama
diantara aparat penyelenggara pelayanan public. Semangat kerja sama ini antara
lain dikonsepkan sebagai kepaduan tim atau ada juga yang menyebutnya sebagai
esprit de corps. Stanley E. Seashore (Gibson et.al, 1996) mendefinisikan kepaduan
tim sebagai penarikan anggota ke dalam kelompok dan kekuatan masing-masing
anggota untuk tetap aktif dalam kelompok serta menolak meninggalkan kelompok.
Bentuk keterpaduan tim misalnya yaitu: Apakah pimpinan dan bawahan memberikan
kontribusi pada upaya-upaya kelompok dalam pemberian pelayanan kepada pengguna
jasa?, Apakah petugas yang tidak melayani pengguna jasa secara langsung telah
memberikan dukungan kepada petugas yang melayanipengguna jasa secara langsung?,
dll.
Isu utama di dalam keterpaduan tim adalah kerja
sama, keterpaduan tim dikonsepkan sebagai semangat kerja sama. Konsep kerja
sama tersebut diartikan sebagai kemampuan aparat birokrasi di satu unit kerja
untuk bekerja sama dalam rangka pemberian pelayanan yang terbaik kepada
masyarakat pengguna jasa. Semangatkerja sama yang rendah di antara aparat
birokrasi tampak bahwa ketika menemui kesulitan dalam memberikan pelayanan,
tindakan yang dilakukan aparat adalah penundaan pelayanan. Secara ideal, setiap
kesulitan yang dihadapi oleh aparat seharusnya dapat meminta bantuan kepada
rekan kerjanya.
Tabel 12
Tindakan yang Dilakukan Petugas ketika Menemui
Kesulitan di Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan
|
Sumatra Barat (N=287)
|
Daerah Istimewa Yogyakarta (N=325)
|
Sulawesi Selatan (N=300)
|
Penundaan pelayanan
|
67,9
|
62,2
|
70,7
|
Bantuan rekan kerja
|
8,7
|
16.9
|
6,0
|
Diatasi sendiri
|
23,3
|
20,9
|
23,3
|
Prinsipdalam
penyelenggaraan pelayanan public adalah bahwa setiap petugas pelayanan harus
dapat memberikan pelayanan kepada pengguna jasanya dengan baik sebagai bentuk
tndakan responsivitas terhadap pengguna jasa. Apabila seorang aparat birokrasi
tidak mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa, hanya karena
bukan orang yang pertama yang menerima dokumen pelayanan, sebanarnya sudah dapat
dilihat bahwa kinerja pelayanannya termasuk buruk. Kinerja pelayanan yang
responsif, efisien, dan akuntabel harus tetap berdasarkan pada semangat
keterkaitan dan terciptanya networking antar aparat maupun antar unit
pelayanan. Namun, semangat ke arah tersebut tampaknya masih sulit untuk
dilakukan.
Kerjasama
tim diantara aparat birokrasi terlihat belum menjadi budaya dalam birokrasi
pelayanan. Pandangan dan pemikiran yang muncul dari setiap aparat adalah hanya
mengerjakan tugas yang menjadi kewajibannya sendiri, tanpa perlu membantu
pekerjaan aparat lain. Hal tersebut muncul karena pemberian pelayanan masih
dianggap belum menjadi tangung jawab bersama semua aparat birokrasi, tetapi
dipahami hanya sebatas tanggung jawab beberapa aparat saja. Aparat birokrasi
dalam memberikan pelayanan belum sepenuhnya menerapkan pelayanan sebagai suatu
totalitas, yang eksistensi dan citra organisasi pelayanan di mata klien itu
akan sangat ditentukan oleh citra dan kinerja aparat pelayanan secara
keseluruhan.
Tabel 13
Penyelesaian yang DiterimaMasyarakat Setelah
Menunggu Petugas di Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi
Selatan
|
Sumatra Barat (N=335)
|
Daerah Istimewa Yogyakarta (N=269)
|
Sulawesi Selatan (N=308)
|
Dibiarkan
|
5,4
|
4,1
|
1,6
|
Tetap menunggu
|
46,0
|
36,4
|
35,7
|
Ditinggal
|
36,7
|
53,9
|
50,9
|
Dikerjakan petugas lain
|
11,9
|
5,6
|
11,7
|
0 Response to " "
Posting Komentar